Cari Blog Ini

Minggu, 04 Maret 2012

Quo Vadis Pendidikan Nasional ?


Dr. H. Hari Sudradjat, M.Pd (Dewan Kehormatan DPK SEGI Garut)
1.    Latar Belakang

Pada tahun 1970an Malaysia “mengimport” guru-guru matematika dan IPA Indonesia untuk mengajar di Malaysia. Bukankah ini suatu pengakuan Malaysia terhadap tingginya mutu pendidikan di Indonesia? Tetapi bagaimana kondisi pendidikan Indonesia sekarang?

Pada tahun 2005 rata-rata lama pendidikan penduduk Malaysia jauh di atas Indonesia. Demikian juga IPM (Indeks Pembangunan Manusia), daya saing (competitiveness) SDM-nya jauh di atas Indonesia, sehingga GDP  (Gross Domestic Product) perkapita Malaysia jauh lebih tinggi dari Indonesia.
Mengapa demikian?

Padahal upaya peningkatan mutu pendidikan Indonesia selalu dikumandangkan, dan telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1969, melalui program Pelita (Pembangunan Lima Tahun).

Dengan program Pelita yang dimulai sejak tahun 1969, Indonesia merencanakan untuk “tinggal landas” menjadi negara Industri  pada akhir Pelita ke enam yaitu tahun 1999, ternyata Indonesia bukan saja “tinggal dilandas melainkan “amblas” ke dasar bumi, dengan adanya krisis moneter tahun 1997 dan krisis moral dengan peristiwa BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara yang belum mampu memulihkan ekonominya akibat krisis moneter tahun 1997, bahkan sekarang Indonesia menjadi negara 1001 krisis.
Indonesia belum berhasil menyelesaikan revolusi agraris sebagai revolusi dunia yang pertama, gagal dalam revolusi dunia yang kedua yaitu revolusi Industri, tetapi Indonesia tidak dapat mengelak dari revolusi dunia yang ketiga yaitu revolusi teknologi informatika dan komunikasi. Indonesia harus mampu membangun pertanian dan industri dalam era millenium ketiga yang berbasis ICT (Information Communication Technology). Sungguh suatu beban yang berat.

Bung Karno mengemukakan bahwa tidak ada nation building tanpa character buliding.Untuk pembangunan nasional dalam segalasektor, akan membutuhkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.
Tanpa akhlak mulia, tanpa SDM yang berpribadi Integral, kecakapan apapun yang dimiliki SDM, hanya akan berujung pada 1001 macam krisis, seperti yang terjadi saat ini.


2.    Perubahan Paradigma Pendidikan

Para pakar, pengamat dan praktisi pendidikan menyadari dampak negatif dari paradigma positivistikterutama tentang “value freeyaitu “Ilmu bebas nilai.Dampak terhadap dunia pendidikan adalah adanya orientasi pendidikan terhadap penguasaan ilmu,kurang berorientasi pemanfaatannya dalam kehidupan, dan tanpa berlandaskan pada nilai keagamaan, budaya, personal dan sosial.Dengan paradigma positivistik ini dimungkinkan seseorang menjadi ahli ilmu agama Islam tetapi sekaligus menjadi koruptor. Mengapa? Karena Ilmu agama yang dikuasai tidak berintikan nilai–nilai keagamaan. Hal ini diakui oleh pengembang Kurikulum PAI (Pendidikan Agama Islam) tahun 2006 yang menyatakan bahwa:
·       PAI belum berkorelasi dengan keberagamaan
·       PAI masih bersifat formal
·       Indonesia tertinggal bukan hanya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tetapi juga dalam moral
(Buku PAI tahun 2006)

Kurikulum tahun 1994 yang dikembangkan dengan pendekatan separate subject curriculum development(pengembangan kurikulum materi pelajaran yang terpisah-pisah) mendorong proses pembelajaran siswa hanya berorientasi pada pengetahuan. Sesuai dengan filosofi yang melandasinya perennialisme, yang bermaksud mewariskan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh para ilmuan terdahulu kepada generasi penerus.
Proses pembelajaran yang padat dengan penyampaian pengetahuan,dari guru yang aktif kepada siswa yang pasif menerima, cenderung menghasilkan lulusan yang verbalis alias omdo. Jauh dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional spiritual dan kecerdasan kinestetik.

Undang-undang Sisdiknas tahun 1989 yang bertujuan membangun manusia seutuhnya, melalui penyelenggaraan Kurikulum 1994, ternyata tidak mampu membangun SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlaq mulia, sebagai sosok manusia seutuhnya yang berkepribadian integral. Hasil pendidikan cenderung membangun SDM dengan split personality(pribadi yang terpecah) ataukrisis Integritas alias munafik, yang berdampak pada terjadinya 1001 krisis di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut, para pengembang kurikulum memberikan kontribusi kepada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang menetapkan Tujuan Pendidikan Nasional sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.






Berdasarkan pasal 3 tersebut, kurikulum dikembangkan dengan pendekatan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang dikenal dengan KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi) sebagai Kurikulum 2004, yang masih bersifat sentralistik.

Keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Kurikulum 2004 mendefinisikan kompetensi sebagai :


Definisi kompetensi dalam kurikulum 2004 tersebut dapat diyakini kebenarannya,  karena berlandaskan pada firman Allah dalam Al Baqarah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”(Q.S. Al Baqarah [2]: 208)






Yang dimaksud dengan keseluruhan dalam ayat tersebut adalah sosok muslim yang kaaffah, manusia yang seutuhnya yang memiliki ilmu (knowledge) dikepalanya, yang digunakan dalam kehidupan oleh tangannya (skill) dengan akhlak mulia (attitude).Bahkan Allah Swt. menegaskan apabila tidak kaaffah, tidak integral, maka dapat dikatakan sebagai pengikut syetan.

Jadi berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Sisdiknas tahun2003dan Kurikulum 2004, yang dimaksud denganorang yang kompeten adalah orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya dalam kehidupan dengan landasan  nilai-nilai iman, sehingga berdampak rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian pendidikan dalam era Undang undang Sisdiknas 2003 bertujuan mengembangkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif, dan berakhlak mulia, yang diperlukan bagi pembangunan nasional.

Disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Nasional beserta seluruh Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kota/Kabupaten. Dukungan Kemendiknas dan Dinas Pendidikan dinyatakan dalam motto Tut Wuri Handayani (mendorong dari belakang). Siapa yang Ing ngarso sung tulodo (didepan memberi keteladanan)?. Pasti Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan.

Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan  di sekolah bertumpu pada kepemimpinan kepala sekolah seperti yang dikemukakan Sallis (1993) bahwa leadership is pivotal to the success of the management. Kita semua menyadari bahwa “tunggulah kehancurannya apabila menunjuk pemimpin yang bukan ahlinya, atau salah menunjuk pemimpin”. Siapa yang Ing madya mangun karso? Jawabannya pasti guru, sosok yang harus digugu dan ditiru. Gurulah yang mampu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani di sekolah sebagai jantungnya peningkatan mutu pendidikan. Krisis dunia pendidikan ialah akibat krisis guru. Sejak tahun 1959 para pakar pendidikan menyatakan bahwa : infact teachers lie at the heart of the world educational crisis. Keilmuan tanpa motivasi untuk peningkatan mutu lulusan, maka pendidikan menghasilkan SDM bermutu rendah, guru bekerja bukan dalam konteks ibadah melainkan berorientasi pada pendapatan gaji dan kenaikan pangkat, sehingga terjadilah contek masal, penjualan ijazah, jual gelar S1, S2, dan S3 dan sebagainya.

Bertitik tolak dari pemikiran bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, dan upaya pemerataan layanan pendidikan dalam era desentralisasi, maka Pemerintah menetapkan otonomi lembaga pendidikan dengan pola Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat (1) UU SIsdiknas 2003” yang berbunyi:

Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip  manajemen berbasis sekolah/madrasah.






 Ujung tombak perencanaan peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah kurikulum yang harus dikembangkan dan dibuat guru di sekolah, yang ditetapkan dalam pasal 38 ayat (2) Undang-undang Sisdiknas 2003 yang selanjutnya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

KTSP adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan di sekolah dengan konsep kompetensi, maka sekolah bertanggung jawab untuk membangun lulusan yang cerdas kompetitif produktif dan berakhlak mulia.

Sekolah sebagai pusat pembangunan masyarakat (Social Development Centre) bertanggung jawab membangun SDM dengan pribadi integral yang memiliki ilmu dan mengamalkan ilmunya dengan akhlaq mulia. Sekolah harus berfungsi melestarikan nilai-nilai agama dan budaya sebagai pusat pembangunan karakter bangsa.

Tetapi bagaimana kenyataannya dalam pelaksanaan UU Sisdiknas 2003 yang telah menganut paradigma post positivistik, yaitu antara lain ‘’value bound” bahwa ilmu terikat  nilai? Bahwa ilmu hukum memiliki nilai-nilai keadilan, bahwa ilmu agama memiliki nilai-nilai spiritual dan penghambaan kepada Sang Pencipta, dan sebagainya.



3.    PP dan Permendiknas yang Inkonsisten dengan UU Sisidiknas 2003
UU Sisdiknas tahun 2003 yang mengubah paradigma pendidikan dari orientasi kearah penguasaan ilmu semata, menjadi pendidikan yang berorientasi pada pemilikan ilmu yang dapat diamalkan dalam kehidupan dengan sholeh, tinggal wacana. Operasionalnya di sekolah melalui PP 19/2005 dan hampir seluruh Permendiknas kembali mengubah orientasi pendidikan kearah kognitif dan motorik tanpa nilai-nilai afektif.

Pengembangan KTSP (Pasal 38 ayat [2] UU Sisdiknas 2003) yang harus dibuat guru di sekolah sebagai upaya desentralisasi pendidikan melalui MBS (Pasal 51 ayat [1] UU Sisdiknas tahun 2003) tidak dapat dilaksanakan karena PP 19 tahun 2005 pasal 8 menyatakan :

(1)
Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
(2)
Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar.
(3)
Ketentuan mengenai kedalaman muatan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

 


Pasal 8






Pasal ini dengan jelas menetapkan kembali bahwa SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) yang merupakan tujuan pembelajaran dari setiap mata pelajaran, yang seharusnya dikembangkan dan disusun guru, menjadi dibuat oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang ditetapkan olah Menteri Pendidikan Nasional. Dalam hal ini guru tidak jadi pengembang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), mereka hanyalah mengubah sedikit dari apa yang dibuat BSNP.

Kurikulum kembali menjadi sentralistik, manajemen pengembangan kurikulum tidak lagi berbasis sekolah tetapi berbasis BSNP dan Kementrian Pendidikan Nasional. Kepala sekolah tidak difungsikan lagi sebagai administrator dan direktur (director) sekolah yang membawa sekolah kearah tujuan pendidikan nasional, melainkan hanya difungsikan sebagai ‘’mandor’’ yang mengawasi guru-guru sebagai ‘’ Tukang Mengajar’’ siswa agar lulus UN (Ujian Nasional).
Sekolah tidak lagi memiliki kewenangan sebagai pusat pembangunan masyarakat yang bertanggung jawab menciptakan SDM yang cerdas kompetitif, produktif dan berakhlaq mulia, karena mereka berlomba meluluskan siswanya dalam UN dengan segala cara. Tidak sedikit sekolah yang ‘’tega’’ memfasilitasi contek massal bagi siswanya, agar lulus dan mendapatkan STTB. Hal seperti ini membuat sekolah beralih fungsi dari peran sebagai pusat pembangunan karakter bangsa menjadi pusat pengembangan manipulasi yang mengarah ke korupsi.

Dalam hal ini penulis mengingatkan keluargaku yang muslim akan firman Allah dalam surat ‘’At-Tin:

“(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (5) Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala  yang tiada putus-putusnya’’  (Q.S. At Tiin [95]: 4-6)








Allah Swt. mengingatkan bahwa semua manusia masuk ke asfalasafilin (keraknya neraka) kecuali orang yang beriman (afektif) yang diamalkan dengan sholeh (psikomotor) yang akan mendapat pahala terus menerus dan terhindar dari api neraka. Mereka yang memfasilitasi contek massal, sehingga berdampak pada pemberian STTB aspal (asli tapi palsu) kepada siswa-siswanya, Insya Allah akan diberi hadiah oleh Allah Swt. yaitu ‘’asfala safilin’’. Na’udzubillahi Mindzaliq.

Kesimpulannya, program desentralisasi pendidikan untuk membangun sekolah sebagai pusat pembangunan karakter bangsa dan pembangunan masyarakat dalam rangka memeratakan dan menyebarluaskan layanan pendidikan ke masyarakat luas tidak berjalan.
Demikian juga reorientasi tujuan pendidikan dari penguasaan ilmu, menjadi berorientasi kepada kompetensi, dalam arti penguasaan ilmu yang diamalkan dengan sholeh tidak dapat terlaksana di sekolah, mengapa ?

Karena dengan SK dan KD yang dibuat BSNP dan menjadi Peraturan Menteri Diknas untuk dilaksanakan di sekolah tersebut hampir tidak berintikan nilai-nilai agama yang arahnya kepada pembangunan karakter dan membangun akhlaq mulia. Berikut contoh SK yang berorientasi pada ilmu (kognitif) dan aplikasi (motorik) semata, tanpa nilai-nilai karakter bangsa:

Standar Kompetensi  Mata Pelajaran Konstruksi BajaTingkat SMK(Peraturan Menteri no 22 tahun 2006)

STANDAR KOMPETENSI
Memahami dasar-dasar konstruksi baja
Menerepkan perencanaan struktur konstruksi baja
Menerapkan perencanaan analisi struktur baja
Mengelola material dan peralatan


Standar Kompetensi  Mata Pelajaran Fsika-Kelompok PertanianTingkat SMK(Peraturan Menteri no 22 tahun 2006)

STANDAR KOMPETENSI
Mengukur besaran dan menerapkan satuannya
Menerapkan hukum gerak dan gaya
Menerapkan gerak translasi, rotasi, dan keseimbangan

Kedua contoh di atas merupakan gambaran bahwa pada umumnya rumusan SK dari BSNP belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter dan budaya bangsa. Dengan kata lain program pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembangunan karakter bangsa belum terlaksana, padahal tujuan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-Undang Sisdiknas tahun 2001 sudah berlangsung hampir 9 tahun. Quovadis Pendididkan Indonesia ?

Hal lainnya yang menggambarkan adanya kewenangan sekolah dalam pelaksanaan MBS adalah tentang pemberian ijazah atau STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) yang ditetapkan dalam pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 sebagai berikut:
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.





Pasal 61 ayat (2) ini menetapkan bahwa sekolah memiliki kewenangan untuk memberikan STTB kepada siswanya yang telah lulus ujian akhir sekolah (UAS) yang diselenggarakan oleh sekolah yang terakreditasi.

Sekolah yang berkewenangan melaksanakan UAS sendiri adalah sekolah yang telah mendapat akreditasi A dan B dari Badan Akreditasi Sekolah (BAS).

Dalam hal evaluasi pendidikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan evaluasi seperti yang ditetapkan dalam pasal 59 ayat (1) sebagai berikut:
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.




Dalam hal ini Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya melakukan evaluasi terhadap pengelolaan satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan seperti yang ditetapkan dalam pasal 57 ayat (1) dan (2).
(1)  Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2)  Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.






Pasal ini mengingatkan penulis pada waktu tahun 1955 dimana penulis menyelesaikan SD yang pada waktu itu bernama Sekolah Rakyat (SR). Dari seluruh teman-teman penulis di kelas 6 SR Karang Anyar Jakarta hanya satu orang yang tidak lulus ujian akhir sekolah (UAS), karena hampir 6 bulan ia tidak mengikuti pelajaran dan tidak ikut ujian yang diselenggarakan oleh sekolah.

Berarti hampir semua siswa kelas 6 SR Karang Anyar mendapatkan STTB (Surat Tanda Tamat Belajar). Selanjutnya penulis dan seluruh siswa kelas 6 mengikuti Ujian Nasional, bertempat di SR Tamansari. Pada waktu kepala sekolah mengumumkan siswa yang lulus ujian nasional, menjelaskan bahwa hanya 26% siswa SR Karang Anyar yang lulus Ujian Nasional dan mendapatkan Surat Tanda Lulus. Dengan bermodal nilai UN 22 (dua puluh dua), yaitu nilai 8 (delapan) untuk Berhitung, nilai 7 (tujuh) untuk Bahasa Indonesia, dan nilai 7 (tujuh) untuk Pengetahuan Umum, penulis mendaftar sendiri ke SMP X di Jl. Dr. Sutomo, tanpa bantuan guru ataupun diantar orang tua, dan diterima dengan mudah.

Dari pengalaman penulis tersebut, STTB yang diperoleh penulis sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) yaitu lulus ujian atau ulangan yang dilakukan oleh sekolah. Ujian Nasional yang diikuti penulis mungkin dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk pengakuan terhadap akuntabilitas SR Karang Anyar Jakarta kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Mungkin dapat diartikan bahwa pertanggung jawaban mutu SR Karang Anyar pada waktu itu hanya 26%.

Dengan demikian sebenarnya pelaksanaan MBS telah dilakukan pada tahun 1955, dan sekolah memiliki kewenangan untuk memberikan STTB (Ijazah) kepada siswa yang lulus UAS (Ujian Akhir Sekolah).

Kewenangan sekolah dalam menyusun KTSP dan Pemberian STTB kepada siswa yang lulus ujian akhir sekolah merupakan gambaran bahwa pelaksanaan MBS merupakan upaya desentralisasi pendidikan dimana sekolah memiliki kewenangan (authority). Sedangkan Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten berfungsi Tut Wuri Handayani (motto Kementerian Pendidikan Nasional).

Dengan demikian pelaksanaan UN yang dikaitkan dengan kelulusan siswa untuk mendapat STTB merupakan pelanggaran terhadap UU Sisdiknas tahun 2003.
Siapa yang membuat UU Sisdiknas tahun 2003? Siapa yang melanggarnya?

Ingat firman Allah dalam Al qur’an surat Ash Shaffayat (2) dan (3)sebagai berikut:
(2)  Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
(3)  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengerjakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash Shaff [61]: 2-3)







Ayat tersebut menjelaskan barang siapa yang berkata sesuatu, apalagi memerintahkan melalui undang-undang, tetapi ia sendiri melanggarnya, mereka akan dapat kebencian dari Allah Swt. Padahal yang kita cari adalah keridhoan-Nya. Naudzubillahi mindzaliq.



4.    Pembahasan

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang dibuat oleh Pemerintah, secara konseptual teoritis, filosofik sudah baik dan benar bagi pemecahan masalah mutu pendidikan. Yaitu upaya menyiapkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia, yang diperlukan bagi pembangunan nasional.

Mengapa Pemerintah tidak melaksanakannya secara konsisten ?
Peningkatan mutu pendidikan dalam arti penyiapan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia hanya dapat dilakukan oleh sekolah. Oleh karena itu pola MBS (Pasal 51 ayat [1] UU Sisdiknan 2003) merupakan strategi yang tepat agar terjadi proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS).

Dimana kepala sekolah berperan sebagai pemimpin dan administrator pendidikan di sekolah dan penanggung jawab pertama dan utama di sekolah.

Sekolah bisa menggunakan Total Quality Management (TQM) atau Strategic Management, dalam upaya peningkatan lulusan, standar nasional ataupun internasional.

Kurikulum merupakan ujung tombak perencanaan peningkatan mutu lulusan. Pengembangan dan penyusunannya merupakan tanggung jawab guru yang profesional, sebagai manager pembelajaran dari mata pelajaran yang diampunya

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan tanggung jawab guru-guru di sekolah (Pasal 38 ayat 2) UU Sisdiknas 2003). Selanjutnya guru berperan sebagai fasilitator, dan motivator pembelajaran siswa berdasarkan pada silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan bahan ajar atau LKS (Lembar Kegiatan Pembelajaran Siswa) yang dibuatnya.

Pada saat ini sekolah banyak yang membeli KTSP dan LKS yang disiapkan Penerbit, inilah salah satu gambaran rendahnya kompetensi guru-guru dan pertanggung jawaban mereka sebagai tenaga fungsional profesional.

Peningkatan kompetensi kepemimpinan kepala sekolah dan profesionalitas guru merupakan strategi kedua, dalam peningkatan mutu pendidikan melalui desentralisasi manajemen.


Upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan melalui penyelenggaraan UN yang dikaitkan dengan kelulusan siswa untuk mendapatkan STTB, merupakan pelanggaran terhadap UU Sisdiknas tahun 2003 Pasal 61 ayat (2).

Disamping dampak negatif yang lain seperti contek masal, serta orientasi siswa kepada STTB (Certificate oriented) dan bukan kepada kompetensi akademik dan atau kompetensi vokasional.

Padahal mutu SDM dalam pandangan OECD (Organization for Economic Cooperation Development) antara lain adalah daya saing (Competitiveness) dan GDP perkapita, serta pemilikan nilai dan sikap kewirausahaan yang merupakan pandangan BPS (Badan Pusat Statistik).


5.              Rekomendasi

Dalam era otonomi daerah dan fakta bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah maka pola MBS (Pasal 51 ayat [1] UU Sisdiknas) hendaknya dapat dilaksanakan secara konsisten.
Pola pendidikan berbasis kompetensi (PBK) dapat diyakini kebenarannya berdasarkan pandangan Islam, karena sesuai dengan konsep-konsep pendidikan Islam.

Implementasi PBK secara konsisten di sekolah insya Allah dapat menyiapkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif, dan berahlak mulia.

Kedua konsep tersebut Insya Allah dapat menyiapkan generasi penerus yang bebas KKN.
Save our generation against:
·         Verbalism
·         Dogmatism, and
·         Split personality


Bandung,  Februari 2012