Cari Blog Ini

Jumat, 31 Agustus 2012

15 NOPEMBER = HARI KEBANGKITAN GURU & USTADZ SE-KAB. GARUT


Saatnya Yang Mulia Para GURU Bangkit, Berjamaah Berjuang !!!


 Bahwa untuk mencapai tujuan bersama dalam mewujudkan eksistensi guru yang bermartabat dan profesional berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka diperlukan suatu organisasi profesi guru yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru berdasarkan semangat pembaharuan (reformasi) dengan mensyukuri amanah Allah Yang Maha Kuasa, memperjuangkan hak dan kewajiban guru serta menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan nilai-nilai luhur pribadi bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kami dirikan sebuah organisasi profesi guru yang diberi nama SERIKAT GURU INDONESIA KABUPATEN GARUT disingkat SEGI GARUT, sebagai wadah berhimpunnya para guru untuk bermusyawarah dan berjuang dalam menjunjung tinggi harkat martabat, kode etik, profesionalitas serta menegakkan hak dan kewajiban guru untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Organisasi Guru ini didirikan di Garut pada tanggal lima belas, bulan Nopember tahun 2006 dengan nama SERIKAT GURU INDONESIA KABUPATEN GARUT disingkat SEGI GARUT.


15 Nopember = HARI KEBANGKITAN GURU-USTADZ se-KABUPATEN GARUT


Kamis, 17 Mei 2012

Kebijakan Pendidikan yang Mengindonesiakan


by Inspirasi Indonesia on Tuesday, May 8, 2012 at 7:44pm ·


Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Ed
PENGAMAT PENDIDIKAN

Bahwa kepentingan politik melahirkan berbagai kebijakan atau suatu kebijakan merupakan indikasi dari sebuah kepentingan nasional tidak dimasalahkan dalam tulisan ini. Tetapi masalah yang disoroti sekarang adalah kepentingan politik praktis yang diungkapkan sebagai kepentingan pendidikan nasional. Karena itu, sering membingungkan karena tidak jarang dirumuskan sebagai kebijakan pendidikan.

Ambillah pendidikan berbangsa untuk kepentingan pendidikan nasional. Kepentingan itu jelas harus melahirkan kebijakan yang sesuai, yakni yang jauh lebih luas dari sekadar kebijakan sekolah, apalagi kebijakan sekolah yang terbatas dibiayai oleh negara saja. Sejak kemerdekaan sampai hari ini, yang baru saja berarti menjalani kemerdekaan mengatur diri sendiri selama 65 tahun. Sudah 35 menteri pendidikan yang dipercayakan melahirkan kebijakan pendidikan ke masa depan. Malangnya, makin banyak di antara menteri itu yang hanya bisa melahirkan kebijakan sekolah daripada melahirkan kebijakan pendidikan.

Kebijakan pendidikan diharapkan semakin jelas kaitannya dan semakin bersumber dari dan termasuk segala hal yang diamanatkan oleh konstitusi. Kebijakan pendidikan semacam itu jelas lahir dari kepentingan sebuah bangsa dan bukan hanya kepentingan politik praktis atau perorangan. Kebijakan pendidikan dirumuskan jauh ke depan dan terintegrasi dengan pembangunan secara menyeluruh.

Kondisi semacam ini memang tidak selalu terdapat di Tanah Air. Bukan hanya disebabkan oleh tiga orde yang telah dikenal sekaligus saling menghancurkan. Orde Baru bertekad menghancurkan Orde Lama, tetapi di dalam setiap orde itu tidak terdapat kesinambungan kebijakan pendidikan. Di dalam rangka Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, kita sulit sekali mengenal kesinambungan kebijakan para menteri. Ini berakibat tidak adanya garis lurus yang dapat dipedomani oleh para pelaku pendidikan di lapangan.

Kita umumnya makin tidak peka terhadap sekolah dan pendidikan sebagai yang telah diingatkan berbeda dalam konsep dasarnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Yang paling menyedihkan sekarang ialah apabila seorang menteri pendidikan menurunkan dirinya hanya sebagai menteri persekolahan dan menganggap bahwa kebijakan sekolah yang dihasilkannya sekaligus adalah kebijakan pendidikan.

Yang dibutuhkan secara nasional adalah yang berjangka lebih jauh ke masa depan dan sinkron dengan pendidikan pembangunan secara lebih luas. Tetapi justru yang terjadi banyak di antara 35 menteri itu yang lebih berfungsi sebagai menteri persekolahan walaupun tetap menyebutkan diri sebagai menteri pendidikan nasional.

Di kalangan mereka yang melahirkan kebijakan pendidikan pun terdapat perbedaan dan pertentangan yang cukup besar.  Itulah di antara sebab mengapa Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pengajaran pertama, hanya 3 bulan) belum sempat mengembangkan kebijakan mengenai pendidikan kemerdekaan dan sebaliknya itulah pula mengapa seorang Dr Prijono (menteri ke 15,8 tahun lamanya) sempat mengganti peran Pancasila dengan Pancacinta. Tetapi, pada saat yang sama, itulah sebab mengapa menteri-menteri yang datang kemudian banyak mencari jalan sendiri-sendiri dan melahirkan kebijakan yang akhirnya tidak sambung-menyambung. Akhirnya itulah pula sebabnya mengapa masyarakat pada umumnya memiliki kesan “ganti menteri, ganti kebijakan”.

Memang, beberapa pemikiran menteri tertentu dan terdahulu, walaupun hanya berdasarkan kepentingan teknis, berguna untuk ditindaklanjuti oleh menteri sesudahnya.  Tetapi kesetiaan para menteri sudah tidak bisa diharapkan dalam kekacauan politik yang bersumber dari berbagai orde yang saling menghancurkan. Dalam satu orde pun bukanlah jaminan lahirnya kepentingan yang tunggal. Para pelaku di lapangan tidak mungkin lagi menemukan satu kebijakan jangka panjang yang layak untuk dipedomani. Bukankah sudah tertanam di hati para pelaku itu bahwa berganti menteri berarti berganti kepentingan, berganti kepentingan berarti berganti kebijakan? Kita semua tetap gamang bila harus menyatakan bahwa kita memerlukan insan cerdas dan kompetitif (RENSTRA Pendidikan Nasional, 2004-2009), karena tidak pernah jelas di kalangan siapa pun “cerdas” bagaimana dan “kompetitif” terhadap siapa, dalam bentuk apa, dan terhadap siapa.

Sebaliknya yang menonjol ialah kebijakan yang makin terikat pada keputusan praktis sehari-hari yang ditentukan oleh berbagai pejabat masa lalu. Sesungguhnya yang mereka maksud masa depan telahbanyak dirusak oleh generasi tua sendiri dan disampaikan secara politis kepada generasi muda dalam bentuknya yang abstrak. Generasi tua sering melupakan bahwa generasi mudalah yang paling berhak terhadap masa depan. Karena itu, banyak peraturan serta UU buatan masa lalu yang sekarang menjadi semakin tidak relevan, termasuk misalnya saja UU tentang Badan Hukum Pendidikan, yang banyak dibicarakan di masyarakat dewasa ini.

Kebijakan pendidikan yang benar-benar kita butuhkan sekarang ialah kebijakan yang paling sedikit mengutarakan tiga hal berikut ini. Pertama, pendidikan sebagai proses yang mengutamakan wujudnya nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bukan hanya menjadi kebijakan sekolah, tetapi juga kebijakan hidup yang secara menyeluruh berarti kebijakan berbangsa setiap warga negara.
Kedua, pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan tempat sekolah mengutamakan tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang membudayakan. Dengan demikian, pendidikan sekaligus berarti kebijakan pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga negara.

Ketiga, pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagamanan.

Hari ini kita wajib menilai apakah berbagai peraturan yang telah ada, termasuk yang dihasilkan oleh Orde Reformasi sekalipun, telah benar-benar berdasarkan kepentingan dan kebijakan pendidikan secara nasional. Kesimpulan penulis sendiri ialah tidak demikian: bukan peraturan-peraturan dan ketentuan formal yang dibutuhkan dewasa ini. Yang diperlukan adalah visi dan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kepentingan yang dihormati dan dijadikan dasar untuk membangun bangsa. Inilah kebijakan pendidikan yang mengindonesiakan.

Selasa, 15 Mei 2012

RSBI Harus Dibubarkan


JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggaraan sekolah berstatus rintisan bertaraf internasional (RSBI/SBI), secara konsep bertentangan dengan falsafah pendidikan nasional. Karena itu RSBI harus dibubarkan, agar kekeliruan pendidikan tidak bertambah parah.
Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat. - Daoed Joesoef

Hal ini dikatakan dua saksi ahli pemohon mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, serta ahli filsafat dan manajemen pendidikan, HAR Tilaar, dalam sidang uji materi UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur RSBI/SBI, di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (15/5/2012).
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon dan pemerintah, dipimpin Ketua MK Mahfud MD.

Daoed mengatakan, dia sangat menentang pengembangan sekolah RSBI/SBI. "Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat," kata Daoed.

Menurut Daoed, dia menentang cara dan standar yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan sistem RSBI/SBI, yang menciptakan pengkastaan dan melegalkan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan.
"Saya bukan menolak peningkatan mutu pendidikan ke internasional atau pembelajaran bahasa asing. Tetapi jika yang dilaksanakan dengan RSBI/SBI, pemerintah terlalu simplistis," kata Daoed.

Dalam pandangannya, Daoed menentang keras sikap pemerintah yang sengaja menciptakan kekastaan dalam masyarakat. Pemerintah mengembangkan kelompok anak yang ceradas sedemikian rupa, namun ada juga kelompok anak yang nantinya bakal sekadar jadi "penonton" dalam pembangunan.

Sementara HAR Tilaar mengatakan, pendidikan RSBI/SBI Indonesia yang mengacu pada negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD, menunjukkan Indonesia tidak memiliki kemerdekaan budaya.
"Indonesia justru harus bisa menemukan kekuatan sendiri, dengan berlandaskan pada kebudayaannya, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan," kata Tilaar.

Menurut Tilaar, pendidikan RSBi/SBI hanya menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual, bukan manusia yang berkarakter dan berbudaya.   http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/15/16482067/RSBI.Harus.Dibubarkan

Sabtu, 12 Mei 2012

Mengawasi Pembiayaan Pendidikan



http://www.tempo.co/read/kolom/2012/05/08/579/Mengawasi-Pembiayaan-Pendidikan-
 
Selasa, 08 Mei 2012 | 07:54 WIB
TEMPO.CO, Di antara kementerian dan lembaga negara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  menjadi kementerian dengan proporsi anggaran paling gemuk dibanding yang lain. Dari Rp 266,9 triliun pada 2011, anggaran menjadi Rp 286,6 triliun pada 2012. Baik pada 2011 maupun 2012, anggaran pendidikan mencapai sekitar 20 persen APBN; mengikuti amanat undang-undang.

Harus diakui, skema anggaran tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah membangun sektor ini. Pada 2011, pemerintah telah melakukan rehab 18 ribu SD senilai Rp 2,29 triliun, 3.500 SMP senilai Rp 518,4 miliar, rehab 2.203 ruang kelas MI senilai Rp 160,8 miliar, dan MTs sebesar Rp 236,3 miliar. Pemerintah menyatakan masih ada sekitar 10 persen sekolah tidak layak yang akan terus diperbaiki. Di bidang fisik, dibangun Rumah Sakit Pendidikan di perguruan tinggi negeri sejak 2008 sampai sekarang dan menghabiskan Rp 2,5 triliun!

Sayangnya, pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka. Pemangku kepentingan belum sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan pendidikan nasional. Bahkan Menteri M. Nuh pun mengakui lembaga pendidikan satu dan lainnya berbeda-beda serta timpang, terutama di lembaga pendidikan tinggi. Belum ada audit pendidikan agar masyarakat mengetahui secara transparan. Kebijakan pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun masih saja terjadi.

Pembiayaan pendidikan belum mampu meng-upgrade posisi indeks pembangunan manusia Indonesia, bahkan di level ASEAN sekalipun. Laporan BPS menyatakan Indonesia masih ada di peringkat 108 pada 2009 dan 2010, dengan indeks masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita hanya mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan Myanmar (132), dan masih kalah dari Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).

Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi kita masih relatif rendah (56 persen untuk SLTP, 32 persen untuk SLTA, dan 12 persen untuk perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun sudah digalakkan dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD hingga SLTP sejak 2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya terus meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp 16,4 triliun pada 2011, naik tajam pada 2012 menjadi Rp 27,67 triliun.

Meskipun anggaran sudah berporsi besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19 April) dengan Komisi X yang ditujukan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa besarnya anggaran ini belum mampu mengubah potensi partisipasi peserta didik? Apakah pembiayaan ini telah berjalan tepat sasaran, efektif, dan efisien? Lalu, bagaimana mengantisipasi “tikus-tikus” proyek yang acap berkeliaran, seperti dugaan “permainan” AS dan kawan-kawan di tubuh Kementerian Pendidikan?

Peran pemda

Sejak otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab pemda. Tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas; diganti dengan Dinas Pendidikan di kabupaten/kota di bawah kendali pemda, dan Dinas Pendidikan Provinsi di bawah pemerintah provinsi. Dengan konfigurasi demikian, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah bertanggung jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD. Dalam prakteknya, ternyata hal ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi antara pusat dan daerah.

Pembiayaan pendidikan yang bersifat budgetary (dibelanjakan sekolah) dan non-budgetary (dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering berbeda dan timpang antara satu daerah dan lainnya. Belum disusun indikator yang memungkinkan anggaran pendidikan terserap sesuai dengan kebutuhan prioritas per daerah. Yang terjadi selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk pada besaran tahun-tahun sebelumnya, karena ketidakberanian mengubah mindset menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur DAK serta DAU juga ikut memengaruhi potensi penyalahgunaan anggaran “raksasa” ini.

Belum lagi, kesenjangan pendidikan antarkabupaten di Indonesia masih belum cukup memberikan informasi tentang kesenjangan yang terjadi di dalam provinsi. Padahal kesenjangan itu benar-benar terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap menyeluruh, sehingga pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan lebih komprehensif. Hal ini tidak hanya penting secara kuantitatif, tetapi juga penting bagi pemerintah sebagai bahan mengambil langkah-langkah terpadu untuk mengurangi semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan pendidikan.

Mismanajemen biaya

Jika merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran, sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan, dan peralatan pendidikan habis pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Faktanya, pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan untuk kebutuhan biaya operasi ini. Sama halnya dengan di kementerian dan lembaga negara lainnya, pemerintah belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk mengefisienkan biaya operasi, sehingga target-target pencapaian pendidikan dapat terpenuhi.

Yang ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan prasarana sekolah yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik untuk anak pintar maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat “dikalahkan” oleh kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum tuntas (atau dianggap masih kurang, dan akan selalu merasa kurang), maka otomatis akan sulit menargetkan terpenuhinya pembiayaan pendidikan tepat guna dan tepat tujuan.

Belum lagi pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di bidang pendidikan yang selalu menjadi makanan empuk “para pemain” lama maupun baru di proyek-proyek pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political will pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit beranjak membangkitkan potensi bangsa kita. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara komprehensif perlu dilakukan kontinu dan melibatkan komponen-komponen terkait. Orang terdidik pun bisa korupsi dan “mau” menerima uang korupsi jika ditempatkan di lahan basah tanpa pengawasan yang memadai.


*) Abdullah Yazid, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang, peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)

Kamis, 10 Mei 2012

Guru di Garut Pertanyakan Belum Cairnya TPG

INILAH.COM, Garut 
Oleh: Nul Zainulmukhtar
Jabar - Rabu, 9 Mei 2012 | 23:22 WIB 
- Guru-guru penerima sertifikasi di berbagai daerah di Kabupaten Garut mengeluhkan belum cairnya tunjangan penghasilan guru (TPG) dari pemerintah pusat untuk triwulan pertama 2012. Seharusnya dana TPG tersebut sudah diterima mereka selambatnya April lalu.

Mereka pun mempertanyakan diharuskannya para guru membuka rekening baru di Bank BJB untuk penerimaan uang TPG sekalipun sudah memiliki rekening di bank tersebut sebelumnya. Isu dugaan adanya kesengajaan pengendapan dana TPG di Bank BJB pun muncul dan disinyalir ada aliran fee atas kerja sama pembukaan rekening baru tersebut.

Ketua Serikat Guru Indonesia Imam Tamamu Taufiq mengatakan, sepengetahuannya, transfer TPG untuk Kabupaten Garut dari pemerintah pusat dengan total nilai Rp66,7 miliar sudah dikirimkan Kementrian Keuangan RI ke Pemkab Garut pada Maret 2012 lalu. Namun hingga kini, TPG tersebut masih belum dicairkan.

"Padahal sesuai Permenkeu Nomor 35/PMK.07/2012, TPG untuk Garut untuk triwulan pertama senilai total Rp66,7 miliar itu sudah harus dicairkan paling lambat April 2012. Tapi sampai saat ini masih belum diterima guru-guru di Garut. Ini artinya, Pemkab melakukan pelanggaran terhadap Permenkeu 35/2012 tersebut," tutur Imam yang juga guru di salah satu SMA di Kabupaten Garut itu, Rabu (9/5/2012).

Imam jug mempertanyakan diharuskannya para guru SMA/SMK di Kabupaten Garut membuka rekening di Bank BJB untuk penerimaan TPG tersebut, termasuk yang sudah memiliki rekening bank bersangkutan.

"Padahal, menurut MoU (Memorandum of Understanding/kesepahaman) Bank BJB dengan Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), pembukaan rekening di Bank BJB hanya untuk guru-guru SD, SMP, dan pengawas. Saya tak tahu Pemkab Garut ini bagaimana? Apa TPG itu diendapkan atau bagaimana sebenarnya?," tanya Imam.[ang]    *
http://www.inilahjabar.com/read/detail/1859552/guru-di-garut-pertanyakan-belum-cairnya-tpg

Minggu, 04 Maret 2012

Quo Vadis Pendidikan Nasional ?


Dr. H. Hari Sudradjat, M.Pd (Dewan Kehormatan DPK SEGI Garut)
1.    Latar Belakang

Pada tahun 1970an Malaysia “mengimport” guru-guru matematika dan IPA Indonesia untuk mengajar di Malaysia. Bukankah ini suatu pengakuan Malaysia terhadap tingginya mutu pendidikan di Indonesia? Tetapi bagaimana kondisi pendidikan Indonesia sekarang?

Pada tahun 2005 rata-rata lama pendidikan penduduk Malaysia jauh di atas Indonesia. Demikian juga IPM (Indeks Pembangunan Manusia), daya saing (competitiveness) SDM-nya jauh di atas Indonesia, sehingga GDP  (Gross Domestic Product) perkapita Malaysia jauh lebih tinggi dari Indonesia.
Mengapa demikian?

Padahal upaya peningkatan mutu pendidikan Indonesia selalu dikumandangkan, dan telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1969, melalui program Pelita (Pembangunan Lima Tahun).

Dengan program Pelita yang dimulai sejak tahun 1969, Indonesia merencanakan untuk “tinggal landas” menjadi negara Industri  pada akhir Pelita ke enam yaitu tahun 1999, ternyata Indonesia bukan saja “tinggal dilandas melainkan “amblas” ke dasar bumi, dengan adanya krisis moneter tahun 1997 dan krisis moral dengan peristiwa BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara yang belum mampu memulihkan ekonominya akibat krisis moneter tahun 1997, bahkan sekarang Indonesia menjadi negara 1001 krisis.
Indonesia belum berhasil menyelesaikan revolusi agraris sebagai revolusi dunia yang pertama, gagal dalam revolusi dunia yang kedua yaitu revolusi Industri, tetapi Indonesia tidak dapat mengelak dari revolusi dunia yang ketiga yaitu revolusi teknologi informatika dan komunikasi. Indonesia harus mampu membangun pertanian dan industri dalam era millenium ketiga yang berbasis ICT (Information Communication Technology). Sungguh suatu beban yang berat.

Bung Karno mengemukakan bahwa tidak ada nation building tanpa character buliding.Untuk pembangunan nasional dalam segalasektor, akan membutuhkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.
Tanpa akhlak mulia, tanpa SDM yang berpribadi Integral, kecakapan apapun yang dimiliki SDM, hanya akan berujung pada 1001 macam krisis, seperti yang terjadi saat ini.


2.    Perubahan Paradigma Pendidikan

Para pakar, pengamat dan praktisi pendidikan menyadari dampak negatif dari paradigma positivistikterutama tentang “value freeyaitu “Ilmu bebas nilai.Dampak terhadap dunia pendidikan adalah adanya orientasi pendidikan terhadap penguasaan ilmu,kurang berorientasi pemanfaatannya dalam kehidupan, dan tanpa berlandaskan pada nilai keagamaan, budaya, personal dan sosial.Dengan paradigma positivistik ini dimungkinkan seseorang menjadi ahli ilmu agama Islam tetapi sekaligus menjadi koruptor. Mengapa? Karena Ilmu agama yang dikuasai tidak berintikan nilai–nilai keagamaan. Hal ini diakui oleh pengembang Kurikulum PAI (Pendidikan Agama Islam) tahun 2006 yang menyatakan bahwa:
·       PAI belum berkorelasi dengan keberagamaan
·       PAI masih bersifat formal
·       Indonesia tertinggal bukan hanya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tetapi juga dalam moral
(Buku PAI tahun 2006)

Kurikulum tahun 1994 yang dikembangkan dengan pendekatan separate subject curriculum development(pengembangan kurikulum materi pelajaran yang terpisah-pisah) mendorong proses pembelajaran siswa hanya berorientasi pada pengetahuan. Sesuai dengan filosofi yang melandasinya perennialisme, yang bermaksud mewariskan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh para ilmuan terdahulu kepada generasi penerus.
Proses pembelajaran yang padat dengan penyampaian pengetahuan,dari guru yang aktif kepada siswa yang pasif menerima, cenderung menghasilkan lulusan yang verbalis alias omdo. Jauh dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional spiritual dan kecerdasan kinestetik.

Undang-undang Sisdiknas tahun 1989 yang bertujuan membangun manusia seutuhnya, melalui penyelenggaraan Kurikulum 1994, ternyata tidak mampu membangun SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlaq mulia, sebagai sosok manusia seutuhnya yang berkepribadian integral. Hasil pendidikan cenderung membangun SDM dengan split personality(pribadi yang terpecah) ataukrisis Integritas alias munafik, yang berdampak pada terjadinya 1001 krisis di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut, para pengembang kurikulum memberikan kontribusi kepada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang menetapkan Tujuan Pendidikan Nasional sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.






Berdasarkan pasal 3 tersebut, kurikulum dikembangkan dengan pendekatan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang dikenal dengan KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi) sebagai Kurikulum 2004, yang masih bersifat sentralistik.

Keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Kurikulum 2004 mendefinisikan kompetensi sebagai :


Definisi kompetensi dalam kurikulum 2004 tersebut dapat diyakini kebenarannya,  karena berlandaskan pada firman Allah dalam Al Baqarah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”(Q.S. Al Baqarah [2]: 208)






Yang dimaksud dengan keseluruhan dalam ayat tersebut adalah sosok muslim yang kaaffah, manusia yang seutuhnya yang memiliki ilmu (knowledge) dikepalanya, yang digunakan dalam kehidupan oleh tangannya (skill) dengan akhlak mulia (attitude).Bahkan Allah Swt. menegaskan apabila tidak kaaffah, tidak integral, maka dapat dikatakan sebagai pengikut syetan.

Jadi berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Sisdiknas tahun2003dan Kurikulum 2004, yang dimaksud denganorang yang kompeten adalah orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya dalam kehidupan dengan landasan  nilai-nilai iman, sehingga berdampak rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian pendidikan dalam era Undang undang Sisdiknas 2003 bertujuan mengembangkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif, dan berakhlak mulia, yang diperlukan bagi pembangunan nasional.

Disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Nasional beserta seluruh Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kota/Kabupaten. Dukungan Kemendiknas dan Dinas Pendidikan dinyatakan dalam motto Tut Wuri Handayani (mendorong dari belakang). Siapa yang Ing ngarso sung tulodo (didepan memberi keteladanan)?. Pasti Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan.

Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan  di sekolah bertumpu pada kepemimpinan kepala sekolah seperti yang dikemukakan Sallis (1993) bahwa leadership is pivotal to the success of the management. Kita semua menyadari bahwa “tunggulah kehancurannya apabila menunjuk pemimpin yang bukan ahlinya, atau salah menunjuk pemimpin”. Siapa yang Ing madya mangun karso? Jawabannya pasti guru, sosok yang harus digugu dan ditiru. Gurulah yang mampu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani di sekolah sebagai jantungnya peningkatan mutu pendidikan. Krisis dunia pendidikan ialah akibat krisis guru. Sejak tahun 1959 para pakar pendidikan menyatakan bahwa : infact teachers lie at the heart of the world educational crisis. Keilmuan tanpa motivasi untuk peningkatan mutu lulusan, maka pendidikan menghasilkan SDM bermutu rendah, guru bekerja bukan dalam konteks ibadah melainkan berorientasi pada pendapatan gaji dan kenaikan pangkat, sehingga terjadilah contek masal, penjualan ijazah, jual gelar S1, S2, dan S3 dan sebagainya.

Bertitik tolak dari pemikiran bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, dan upaya pemerataan layanan pendidikan dalam era desentralisasi, maka Pemerintah menetapkan otonomi lembaga pendidikan dengan pola Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat (1) UU SIsdiknas 2003” yang berbunyi:

Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip  manajemen berbasis sekolah/madrasah.






 Ujung tombak perencanaan peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah kurikulum yang harus dikembangkan dan dibuat guru di sekolah, yang ditetapkan dalam pasal 38 ayat (2) Undang-undang Sisdiknas 2003 yang selanjutnya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

KTSP adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan di sekolah dengan konsep kompetensi, maka sekolah bertanggung jawab untuk membangun lulusan yang cerdas kompetitif produktif dan berakhlak mulia.

Sekolah sebagai pusat pembangunan masyarakat (Social Development Centre) bertanggung jawab membangun SDM dengan pribadi integral yang memiliki ilmu dan mengamalkan ilmunya dengan akhlaq mulia. Sekolah harus berfungsi melestarikan nilai-nilai agama dan budaya sebagai pusat pembangunan karakter bangsa.

Tetapi bagaimana kenyataannya dalam pelaksanaan UU Sisdiknas 2003 yang telah menganut paradigma post positivistik, yaitu antara lain ‘’value bound” bahwa ilmu terikat  nilai? Bahwa ilmu hukum memiliki nilai-nilai keadilan, bahwa ilmu agama memiliki nilai-nilai spiritual dan penghambaan kepada Sang Pencipta, dan sebagainya.



3.    PP dan Permendiknas yang Inkonsisten dengan UU Sisidiknas 2003
UU Sisdiknas tahun 2003 yang mengubah paradigma pendidikan dari orientasi kearah penguasaan ilmu semata, menjadi pendidikan yang berorientasi pada pemilikan ilmu yang dapat diamalkan dalam kehidupan dengan sholeh, tinggal wacana. Operasionalnya di sekolah melalui PP 19/2005 dan hampir seluruh Permendiknas kembali mengubah orientasi pendidikan kearah kognitif dan motorik tanpa nilai-nilai afektif.

Pengembangan KTSP (Pasal 38 ayat [2] UU Sisdiknas 2003) yang harus dibuat guru di sekolah sebagai upaya desentralisasi pendidikan melalui MBS (Pasal 51 ayat [1] UU Sisdiknas tahun 2003) tidak dapat dilaksanakan karena PP 19 tahun 2005 pasal 8 menyatakan :

(1)
Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
(2)
Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar.
(3)
Ketentuan mengenai kedalaman muatan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

 


Pasal 8






Pasal ini dengan jelas menetapkan kembali bahwa SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) yang merupakan tujuan pembelajaran dari setiap mata pelajaran, yang seharusnya dikembangkan dan disusun guru, menjadi dibuat oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang ditetapkan olah Menteri Pendidikan Nasional. Dalam hal ini guru tidak jadi pengembang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), mereka hanyalah mengubah sedikit dari apa yang dibuat BSNP.

Kurikulum kembali menjadi sentralistik, manajemen pengembangan kurikulum tidak lagi berbasis sekolah tetapi berbasis BSNP dan Kementrian Pendidikan Nasional. Kepala sekolah tidak difungsikan lagi sebagai administrator dan direktur (director) sekolah yang membawa sekolah kearah tujuan pendidikan nasional, melainkan hanya difungsikan sebagai ‘’mandor’’ yang mengawasi guru-guru sebagai ‘’ Tukang Mengajar’’ siswa agar lulus UN (Ujian Nasional).
Sekolah tidak lagi memiliki kewenangan sebagai pusat pembangunan masyarakat yang bertanggung jawab menciptakan SDM yang cerdas kompetitif, produktif dan berakhlaq mulia, karena mereka berlomba meluluskan siswanya dalam UN dengan segala cara. Tidak sedikit sekolah yang ‘’tega’’ memfasilitasi contek massal bagi siswanya, agar lulus dan mendapatkan STTB. Hal seperti ini membuat sekolah beralih fungsi dari peran sebagai pusat pembangunan karakter bangsa menjadi pusat pengembangan manipulasi yang mengarah ke korupsi.

Dalam hal ini penulis mengingatkan keluargaku yang muslim akan firman Allah dalam surat ‘’At-Tin:

“(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (5) Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala  yang tiada putus-putusnya’’  (Q.S. At Tiin [95]: 4-6)








Allah Swt. mengingatkan bahwa semua manusia masuk ke asfalasafilin (keraknya neraka) kecuali orang yang beriman (afektif) yang diamalkan dengan sholeh (psikomotor) yang akan mendapat pahala terus menerus dan terhindar dari api neraka. Mereka yang memfasilitasi contek massal, sehingga berdampak pada pemberian STTB aspal (asli tapi palsu) kepada siswa-siswanya, Insya Allah akan diberi hadiah oleh Allah Swt. yaitu ‘’asfala safilin’’. Na’udzubillahi Mindzaliq.

Kesimpulannya, program desentralisasi pendidikan untuk membangun sekolah sebagai pusat pembangunan karakter bangsa dan pembangunan masyarakat dalam rangka memeratakan dan menyebarluaskan layanan pendidikan ke masyarakat luas tidak berjalan.
Demikian juga reorientasi tujuan pendidikan dari penguasaan ilmu, menjadi berorientasi kepada kompetensi, dalam arti penguasaan ilmu yang diamalkan dengan sholeh tidak dapat terlaksana di sekolah, mengapa ?

Karena dengan SK dan KD yang dibuat BSNP dan menjadi Peraturan Menteri Diknas untuk dilaksanakan di sekolah tersebut hampir tidak berintikan nilai-nilai agama yang arahnya kepada pembangunan karakter dan membangun akhlaq mulia. Berikut contoh SK yang berorientasi pada ilmu (kognitif) dan aplikasi (motorik) semata, tanpa nilai-nilai karakter bangsa:

Standar Kompetensi  Mata Pelajaran Konstruksi BajaTingkat SMK(Peraturan Menteri no 22 tahun 2006)

STANDAR KOMPETENSI
Memahami dasar-dasar konstruksi baja
Menerepkan perencanaan struktur konstruksi baja
Menerapkan perencanaan analisi struktur baja
Mengelola material dan peralatan


Standar Kompetensi  Mata Pelajaran Fsika-Kelompok PertanianTingkat SMK(Peraturan Menteri no 22 tahun 2006)

STANDAR KOMPETENSI
Mengukur besaran dan menerapkan satuannya
Menerapkan hukum gerak dan gaya
Menerapkan gerak translasi, rotasi, dan keseimbangan

Kedua contoh di atas merupakan gambaran bahwa pada umumnya rumusan SK dari BSNP belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter dan budaya bangsa. Dengan kata lain program pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembangunan karakter bangsa belum terlaksana, padahal tujuan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-Undang Sisdiknas tahun 2001 sudah berlangsung hampir 9 tahun. Quovadis Pendididkan Indonesia ?

Hal lainnya yang menggambarkan adanya kewenangan sekolah dalam pelaksanaan MBS adalah tentang pemberian ijazah atau STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) yang ditetapkan dalam pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 sebagai berikut:
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.





Pasal 61 ayat (2) ini menetapkan bahwa sekolah memiliki kewenangan untuk memberikan STTB kepada siswanya yang telah lulus ujian akhir sekolah (UAS) yang diselenggarakan oleh sekolah yang terakreditasi.

Sekolah yang berkewenangan melaksanakan UAS sendiri adalah sekolah yang telah mendapat akreditasi A dan B dari Badan Akreditasi Sekolah (BAS).

Dalam hal evaluasi pendidikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan evaluasi seperti yang ditetapkan dalam pasal 59 ayat (1) sebagai berikut:
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.




Dalam hal ini Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya melakukan evaluasi terhadap pengelolaan satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan seperti yang ditetapkan dalam pasal 57 ayat (1) dan (2).
(1)  Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2)  Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.






Pasal ini mengingatkan penulis pada waktu tahun 1955 dimana penulis menyelesaikan SD yang pada waktu itu bernama Sekolah Rakyat (SR). Dari seluruh teman-teman penulis di kelas 6 SR Karang Anyar Jakarta hanya satu orang yang tidak lulus ujian akhir sekolah (UAS), karena hampir 6 bulan ia tidak mengikuti pelajaran dan tidak ikut ujian yang diselenggarakan oleh sekolah.

Berarti hampir semua siswa kelas 6 SR Karang Anyar mendapatkan STTB (Surat Tanda Tamat Belajar). Selanjutnya penulis dan seluruh siswa kelas 6 mengikuti Ujian Nasional, bertempat di SR Tamansari. Pada waktu kepala sekolah mengumumkan siswa yang lulus ujian nasional, menjelaskan bahwa hanya 26% siswa SR Karang Anyar yang lulus Ujian Nasional dan mendapatkan Surat Tanda Lulus. Dengan bermodal nilai UN 22 (dua puluh dua), yaitu nilai 8 (delapan) untuk Berhitung, nilai 7 (tujuh) untuk Bahasa Indonesia, dan nilai 7 (tujuh) untuk Pengetahuan Umum, penulis mendaftar sendiri ke SMP X di Jl. Dr. Sutomo, tanpa bantuan guru ataupun diantar orang tua, dan diterima dengan mudah.

Dari pengalaman penulis tersebut, STTB yang diperoleh penulis sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) yaitu lulus ujian atau ulangan yang dilakukan oleh sekolah. Ujian Nasional yang diikuti penulis mungkin dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk pengakuan terhadap akuntabilitas SR Karang Anyar Jakarta kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Mungkin dapat diartikan bahwa pertanggung jawaban mutu SR Karang Anyar pada waktu itu hanya 26%.

Dengan demikian sebenarnya pelaksanaan MBS telah dilakukan pada tahun 1955, dan sekolah memiliki kewenangan untuk memberikan STTB (Ijazah) kepada siswa yang lulus UAS (Ujian Akhir Sekolah).

Kewenangan sekolah dalam menyusun KTSP dan Pemberian STTB kepada siswa yang lulus ujian akhir sekolah merupakan gambaran bahwa pelaksanaan MBS merupakan upaya desentralisasi pendidikan dimana sekolah memiliki kewenangan (authority). Sedangkan Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten berfungsi Tut Wuri Handayani (motto Kementerian Pendidikan Nasional).

Dengan demikian pelaksanaan UN yang dikaitkan dengan kelulusan siswa untuk mendapat STTB merupakan pelanggaran terhadap UU Sisdiknas tahun 2003.
Siapa yang membuat UU Sisdiknas tahun 2003? Siapa yang melanggarnya?

Ingat firman Allah dalam Al qur’an surat Ash Shaffayat (2) dan (3)sebagai berikut:
(2)  Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
(3)  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengerjakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash Shaff [61]: 2-3)







Ayat tersebut menjelaskan barang siapa yang berkata sesuatu, apalagi memerintahkan melalui undang-undang, tetapi ia sendiri melanggarnya, mereka akan dapat kebencian dari Allah Swt. Padahal yang kita cari adalah keridhoan-Nya. Naudzubillahi mindzaliq.



4.    Pembahasan

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang dibuat oleh Pemerintah, secara konseptual teoritis, filosofik sudah baik dan benar bagi pemecahan masalah mutu pendidikan. Yaitu upaya menyiapkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia, yang diperlukan bagi pembangunan nasional.

Mengapa Pemerintah tidak melaksanakannya secara konsisten ?
Peningkatan mutu pendidikan dalam arti penyiapan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia hanya dapat dilakukan oleh sekolah. Oleh karena itu pola MBS (Pasal 51 ayat [1] UU Sisdiknan 2003) merupakan strategi yang tepat agar terjadi proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS).

Dimana kepala sekolah berperan sebagai pemimpin dan administrator pendidikan di sekolah dan penanggung jawab pertama dan utama di sekolah.

Sekolah bisa menggunakan Total Quality Management (TQM) atau Strategic Management, dalam upaya peningkatan lulusan, standar nasional ataupun internasional.

Kurikulum merupakan ujung tombak perencanaan peningkatan mutu lulusan. Pengembangan dan penyusunannya merupakan tanggung jawab guru yang profesional, sebagai manager pembelajaran dari mata pelajaran yang diampunya

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan tanggung jawab guru-guru di sekolah (Pasal 38 ayat 2) UU Sisdiknas 2003). Selanjutnya guru berperan sebagai fasilitator, dan motivator pembelajaran siswa berdasarkan pada silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan bahan ajar atau LKS (Lembar Kegiatan Pembelajaran Siswa) yang dibuatnya.

Pada saat ini sekolah banyak yang membeli KTSP dan LKS yang disiapkan Penerbit, inilah salah satu gambaran rendahnya kompetensi guru-guru dan pertanggung jawaban mereka sebagai tenaga fungsional profesional.

Peningkatan kompetensi kepemimpinan kepala sekolah dan profesionalitas guru merupakan strategi kedua, dalam peningkatan mutu pendidikan melalui desentralisasi manajemen.


Upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan melalui penyelenggaraan UN yang dikaitkan dengan kelulusan siswa untuk mendapatkan STTB, merupakan pelanggaran terhadap UU Sisdiknas tahun 2003 Pasal 61 ayat (2).

Disamping dampak negatif yang lain seperti contek masal, serta orientasi siswa kepada STTB (Certificate oriented) dan bukan kepada kompetensi akademik dan atau kompetensi vokasional.

Padahal mutu SDM dalam pandangan OECD (Organization for Economic Cooperation Development) antara lain adalah daya saing (Competitiveness) dan GDP perkapita, serta pemilikan nilai dan sikap kewirausahaan yang merupakan pandangan BPS (Badan Pusat Statistik).


5.              Rekomendasi

Dalam era otonomi daerah dan fakta bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah maka pola MBS (Pasal 51 ayat [1] UU Sisdiknas) hendaknya dapat dilaksanakan secara konsisten.
Pola pendidikan berbasis kompetensi (PBK) dapat diyakini kebenarannya berdasarkan pandangan Islam, karena sesuai dengan konsep-konsep pendidikan Islam.

Implementasi PBK secara konsisten di sekolah insya Allah dapat menyiapkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif, dan berahlak mulia.

Kedua konsep tersebut Insya Allah dapat menyiapkan generasi penerus yang bebas KKN.
Save our generation against:
·         Verbalism
·         Dogmatism, and
·         Split personality


Bandung,  Februari 2012