Cari Blog Ini

Kamis, 17 Mei 2012

Kebijakan Pendidikan yang Mengindonesiakan


by Inspirasi Indonesia on Tuesday, May 8, 2012 at 7:44pm ·


Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Ed
PENGAMAT PENDIDIKAN

Bahwa kepentingan politik melahirkan berbagai kebijakan atau suatu kebijakan merupakan indikasi dari sebuah kepentingan nasional tidak dimasalahkan dalam tulisan ini. Tetapi masalah yang disoroti sekarang adalah kepentingan politik praktis yang diungkapkan sebagai kepentingan pendidikan nasional. Karena itu, sering membingungkan karena tidak jarang dirumuskan sebagai kebijakan pendidikan.

Ambillah pendidikan berbangsa untuk kepentingan pendidikan nasional. Kepentingan itu jelas harus melahirkan kebijakan yang sesuai, yakni yang jauh lebih luas dari sekadar kebijakan sekolah, apalagi kebijakan sekolah yang terbatas dibiayai oleh negara saja. Sejak kemerdekaan sampai hari ini, yang baru saja berarti menjalani kemerdekaan mengatur diri sendiri selama 65 tahun. Sudah 35 menteri pendidikan yang dipercayakan melahirkan kebijakan pendidikan ke masa depan. Malangnya, makin banyak di antara menteri itu yang hanya bisa melahirkan kebijakan sekolah daripada melahirkan kebijakan pendidikan.

Kebijakan pendidikan diharapkan semakin jelas kaitannya dan semakin bersumber dari dan termasuk segala hal yang diamanatkan oleh konstitusi. Kebijakan pendidikan semacam itu jelas lahir dari kepentingan sebuah bangsa dan bukan hanya kepentingan politik praktis atau perorangan. Kebijakan pendidikan dirumuskan jauh ke depan dan terintegrasi dengan pembangunan secara menyeluruh.

Kondisi semacam ini memang tidak selalu terdapat di Tanah Air. Bukan hanya disebabkan oleh tiga orde yang telah dikenal sekaligus saling menghancurkan. Orde Baru bertekad menghancurkan Orde Lama, tetapi di dalam setiap orde itu tidak terdapat kesinambungan kebijakan pendidikan. Di dalam rangka Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, kita sulit sekali mengenal kesinambungan kebijakan para menteri. Ini berakibat tidak adanya garis lurus yang dapat dipedomani oleh para pelaku pendidikan di lapangan.

Kita umumnya makin tidak peka terhadap sekolah dan pendidikan sebagai yang telah diingatkan berbeda dalam konsep dasarnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Yang paling menyedihkan sekarang ialah apabila seorang menteri pendidikan menurunkan dirinya hanya sebagai menteri persekolahan dan menganggap bahwa kebijakan sekolah yang dihasilkannya sekaligus adalah kebijakan pendidikan.

Yang dibutuhkan secara nasional adalah yang berjangka lebih jauh ke masa depan dan sinkron dengan pendidikan pembangunan secara lebih luas. Tetapi justru yang terjadi banyak di antara 35 menteri itu yang lebih berfungsi sebagai menteri persekolahan walaupun tetap menyebutkan diri sebagai menteri pendidikan nasional.

Di kalangan mereka yang melahirkan kebijakan pendidikan pun terdapat perbedaan dan pertentangan yang cukup besar.  Itulah di antara sebab mengapa Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pengajaran pertama, hanya 3 bulan) belum sempat mengembangkan kebijakan mengenai pendidikan kemerdekaan dan sebaliknya itulah pula mengapa seorang Dr Prijono (menteri ke 15,8 tahun lamanya) sempat mengganti peran Pancasila dengan Pancacinta. Tetapi, pada saat yang sama, itulah sebab mengapa menteri-menteri yang datang kemudian banyak mencari jalan sendiri-sendiri dan melahirkan kebijakan yang akhirnya tidak sambung-menyambung. Akhirnya itulah pula sebabnya mengapa masyarakat pada umumnya memiliki kesan “ganti menteri, ganti kebijakan”.

Memang, beberapa pemikiran menteri tertentu dan terdahulu, walaupun hanya berdasarkan kepentingan teknis, berguna untuk ditindaklanjuti oleh menteri sesudahnya.  Tetapi kesetiaan para menteri sudah tidak bisa diharapkan dalam kekacauan politik yang bersumber dari berbagai orde yang saling menghancurkan. Dalam satu orde pun bukanlah jaminan lahirnya kepentingan yang tunggal. Para pelaku di lapangan tidak mungkin lagi menemukan satu kebijakan jangka panjang yang layak untuk dipedomani. Bukankah sudah tertanam di hati para pelaku itu bahwa berganti menteri berarti berganti kepentingan, berganti kepentingan berarti berganti kebijakan? Kita semua tetap gamang bila harus menyatakan bahwa kita memerlukan insan cerdas dan kompetitif (RENSTRA Pendidikan Nasional, 2004-2009), karena tidak pernah jelas di kalangan siapa pun “cerdas” bagaimana dan “kompetitif” terhadap siapa, dalam bentuk apa, dan terhadap siapa.

Sebaliknya yang menonjol ialah kebijakan yang makin terikat pada keputusan praktis sehari-hari yang ditentukan oleh berbagai pejabat masa lalu. Sesungguhnya yang mereka maksud masa depan telahbanyak dirusak oleh generasi tua sendiri dan disampaikan secara politis kepada generasi muda dalam bentuknya yang abstrak. Generasi tua sering melupakan bahwa generasi mudalah yang paling berhak terhadap masa depan. Karena itu, banyak peraturan serta UU buatan masa lalu yang sekarang menjadi semakin tidak relevan, termasuk misalnya saja UU tentang Badan Hukum Pendidikan, yang banyak dibicarakan di masyarakat dewasa ini.

Kebijakan pendidikan yang benar-benar kita butuhkan sekarang ialah kebijakan yang paling sedikit mengutarakan tiga hal berikut ini. Pertama, pendidikan sebagai proses yang mengutamakan wujudnya nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bukan hanya menjadi kebijakan sekolah, tetapi juga kebijakan hidup yang secara menyeluruh berarti kebijakan berbangsa setiap warga negara.
Kedua, pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan tempat sekolah mengutamakan tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang membudayakan. Dengan demikian, pendidikan sekaligus berarti kebijakan pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga negara.

Ketiga, pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagamanan.

Hari ini kita wajib menilai apakah berbagai peraturan yang telah ada, termasuk yang dihasilkan oleh Orde Reformasi sekalipun, telah benar-benar berdasarkan kepentingan dan kebijakan pendidikan secara nasional. Kesimpulan penulis sendiri ialah tidak demikian: bukan peraturan-peraturan dan ketentuan formal yang dibutuhkan dewasa ini. Yang diperlukan adalah visi dan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kepentingan yang dihormati dan dijadikan dasar untuk membangun bangsa. Inilah kebijakan pendidikan yang mengindonesiakan.

2 komentar:

  1. Kebijakan Pendidikan yang kurang bijak akan melahirkan out cam yang tidak menunjang bagi perkembangan Pendidikan Nasional.Mulai dari sitem dan paradigma pendidikan perlu direvolusi karena kondisinya sudah caos, bukan lagi memanusiakan manusia namun akan melahirkan manusia sebagai mesin.

    BalasHapus
  2. tukar menukar link ustad....kunjungi juga blog aku

    BalasHapus