Prof. Dr. Winarno
Surakhmad, M.Ed
PENGAMAT
PENDIDIKAN
Bahwa
kepentingan politik melahirkan berbagai kebijakan atau suatu kebijakan
merupakan indikasi dari sebuah kepentingan nasional tidak dimasalahkan dalam
tulisan ini. Tetapi masalah yang disoroti sekarang adalah kepentingan politik
praktis yang diungkapkan sebagai kepentingan pendidikan nasional. Karena itu,
sering membingungkan karena tidak jarang dirumuskan sebagai kebijakan
pendidikan.
Ambillah
pendidikan berbangsa untuk kepentingan pendidikan nasional. Kepentingan itu
jelas harus melahirkan kebijakan yang sesuai, yakni yang jauh lebih luas dari sekadar
kebijakan sekolah, apalagi kebijakan sekolah yang terbatas dibiayai oleh negara
saja. Sejak kemerdekaan sampai hari ini, yang baru saja berarti menjalani
kemerdekaan mengatur diri sendiri selama 65 tahun. Sudah 35 menteri pendidikan
yang dipercayakan melahirkan kebijakan pendidikan ke masa depan. Malangnya,
makin banyak di antara menteri itu yang hanya bisa melahirkan kebijakan sekolah
daripada melahirkan kebijakan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan diharapkan semakin jelas kaitannya dan semakin bersumber dari dan
termasuk segala hal yang diamanatkan oleh konstitusi. Kebijakan pendidikan
semacam itu jelas lahir dari kepentingan sebuah bangsa dan bukan hanya
kepentingan politik praktis atau perorangan. Kebijakan pendidikan dirumuskan
jauh ke depan dan terintegrasi dengan pembangunan secara menyeluruh.
Kondisi
semacam ini memang tidak selalu terdapat di Tanah Air. Bukan hanya disebabkan
oleh tiga orde yang telah dikenal sekaligus saling menghancurkan. Orde Baru
bertekad menghancurkan Orde Lama, tetapi di dalam setiap orde itu tidak
terdapat kesinambungan kebijakan pendidikan. Di dalam rangka Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi, kita sulit sekali mengenal kesinambungan kebijakan
para menteri. Ini berakibat tidak adanya garis lurus yang dapat dipedomani oleh
para pelaku pendidikan di lapangan.
Kita
umumnya makin tidak peka terhadap sekolah dan pendidikan sebagai yang telah
diingatkan berbeda dalam konsep dasarnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Yang paling menyedihkan sekarang ialah apabila seorang menteri pendidikan
menurunkan dirinya hanya sebagai menteri persekolahan dan menganggap bahwa
kebijakan sekolah yang dihasilkannya sekaligus adalah kebijakan pendidikan.
Yang
dibutuhkan secara nasional adalah yang berjangka lebih jauh ke masa depan dan
sinkron dengan pendidikan pembangunan secara lebih luas. Tetapi justru yang
terjadi banyak di antara 35 menteri itu yang lebih berfungsi sebagai menteri
persekolahan walaupun tetap menyebutkan diri sebagai menteri pendidikan
nasional.
Di
kalangan mereka yang melahirkan kebijakan pendidikan pun terdapat perbedaan dan
pertentangan yang cukup besar. Itulah di antara sebab mengapa Ki Hadjar
Dewantara (Menteri Pengajaran pertama, hanya 3 bulan) belum sempat
mengembangkan kebijakan mengenai pendidikan kemerdekaan dan sebaliknya itulah
pula mengapa seorang Dr Prijono (menteri ke 15,8 tahun lamanya) sempat
mengganti peran Pancasila dengan Pancacinta. Tetapi, pada saat yang sama,
itulah sebab mengapa menteri-menteri yang datang kemudian banyak mencari jalan
sendiri-sendiri dan melahirkan kebijakan yang akhirnya tidak
sambung-menyambung. Akhirnya itulah pula sebabnya mengapa masyarakat pada
umumnya memiliki kesan “ganti menteri, ganti kebijakan”.
Memang,
beberapa pemikiran menteri tertentu dan terdahulu, walaupun hanya berdasarkan
kepentingan teknis, berguna untuk ditindaklanjuti oleh menteri sesudahnya.
Tetapi kesetiaan para menteri sudah tidak bisa diharapkan dalam kekacauan
politik yang bersumber dari berbagai orde yang saling menghancurkan. Dalam
satu orde pun bukanlah jaminan lahirnya kepentingan yang tunggal. Para pelaku
di lapangan tidak mungkin lagi menemukan satu kebijakan jangka panjang yang
layak untuk dipedomani. Bukankah sudah tertanam di hati para pelaku itu bahwa
berganti menteri berarti berganti kepentingan, berganti kepentingan berarti
berganti kebijakan? Kita semua tetap gamang bila harus menyatakan bahwa
kita memerlukan insan cerdas dan kompetitif (RENSTRA Pendidikan Nasional,
2004-2009), karena tidak pernah jelas di kalangan siapa pun “cerdas” bagaimana
dan “kompetitif” terhadap siapa, dalam bentuk apa, dan terhadap siapa.
Sebaliknya
yang menonjol ialah kebijakan yang makin terikat pada keputusan praktis
sehari-hari yang ditentukan oleh berbagai pejabat masa lalu. Sesungguhnya yang
mereka maksud masa depan telahbanyak dirusak oleh generasi tua sendiri dan
disampaikan secara politis kepada generasi muda dalam bentuknya yang abstrak.
Generasi tua sering melupakan bahwa generasi mudalah yang paling berhak
terhadap masa depan. Karena itu, banyak peraturan serta UU buatan masa lalu
yang sekarang menjadi semakin tidak relevan, termasuk misalnya saja UU tentang
Badan Hukum Pendidikan, yang banyak dibicarakan di masyarakat dewasa ini.
Kebijakan
pendidikan yang benar-benar kita butuhkan sekarang ialah kebijakan yang paling
sedikit mengutarakan tiga hal berikut ini. Pertama, pendidikan sebagai proses
yang mengutamakan wujudnya nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam
UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bukan hanya
menjadi kebijakan sekolah, tetapi juga kebijakan hidup yang secara menyeluruh
berarti kebijakan berbangsa setiap warga negara.
Kedua,
pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan tempat sekolah mengutamakan
tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang
membudayakan. Dengan demikian, pendidikan sekaligus berarti kebijakan
pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga negara.
Ketiga,
pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya
Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan
kekuatan dalam keberagamanan.
Hari
ini kita wajib menilai apakah berbagai peraturan yang telah ada, termasuk yang
dihasilkan oleh Orde Reformasi sekalipun, telah benar-benar berdasarkan
kepentingan dan kebijakan pendidikan secara nasional. Kesimpulan penulis
sendiri ialah tidak demikian: bukan peraturan-peraturan dan ketentuan formal
yang dibutuhkan dewasa ini. Yang diperlukan adalah visi dan kebijakan
pendidikan yang sesuai dengan kepentingan yang dihormati dan dijadikan dasar
untuk membangun bangsa. Inilah kebijakan pendidikan yang mengindonesiakan.