Cari Blog Ini
Sabtu, 17 Mei 2014
Sabtu, 30 November 2013
Penguatan Organisasi Bisa Atasi Persoalan Guru
JAKARTA –
Penguatan organisasi guru dinilai dapat menjadi solusi kekacauan
pengelolaan guru di negeri ini. Organisasi profesi guru yang kuat
akan mampu menegakkan kode etik guru, membina dan mengembangkan
profesi guru, serta memengaruhi berbagai kebijakan pendidikan.
Demikian dikatakan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),
Retno Listyarti kepada SH, Kamis (28/11) pagi.
“Penguatan
organisasi guru penting karena berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang
Guru dan Dosen (UUGD Nomor 4 Tahun
2005-red), organisasi guru juga berfungsi memberikan bantuan hukum
kepada guru, memberikan perlindungan profesi guru, dan memajukan
pendidikan nasional,” kata Retno.
Berdasarkan pasal
tersebut, ia melanjutkan, bila ada guru
ingin menuntut transparansi pemerintah, mereka akan merasa aman
karena organisasi guru memberikan perlindungan. Begitu juga untuk
meningkatkan kapasitas anggotanya.
“Sayangnya, pemerintah ngotot
akan mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74/2008, khususnya
Pasal 44 Ayat 3 yang berpotensi memberangus organisasi guru yang baru
tumbuh,” Retno mengeluh.
Melalui pengesahan
PP Nomor 74/2008 tentang Guru, pemerintah
terkesan berupaya menunggalkan organisasi guru. Menurut Retno, upaya
seperti ini tak ubahnya dengan masa Orde Baru.
Pemerintah hanya
mengakui satu organisasi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI). “Pemerintah sedang memperlemah organisasi guru. Ini akan
berdampak signifikan pada kualitas pendidikan kita,” Retno
mengungkapkan.
Menurut Retno,
sebagian besar guru saat ini menganggap PGRI tidak mampu
memperjuangkan kepentingan guru dan pendidikan. Ia melanjutkan, PGRI
dianggap hanya rajin memungut iuran anggota.
“Ketika para guru yang
patah arang dengan PGRI pindah ke organisasi guru lain mestinya
didukung semua pihak, karena akan ada persaingan sehat untuk berjuang
di organisasi guru sesuai amanat UUGD, khususnya Pasal 42,” kata
Retno.
Akhir
pekan lalu, puluhan organisasi guru mengaku resah atas keteguhan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merevisi Pasal 44
Ayat 3 PP 74/2008, yang menurut Komisi Nasional (Komnas) HAM
berpotensi melanggar hak berserikat bagi guru.
Dalam aksi di Komnas
HAM akhir pekan lalu, FSGI, FGII, PGSI, dan IGI mengatakan menduga
Kemendikbud di bawah tekanan pihak tertentu yang sangat diuntungkan,
jika Pasal 44 Ayat 3 yang mengatur syarat jumlah anggota dan pengurus
organisasi guru jadi direvisi.
“Padahal, kebebasan organisasi untuk
guru diatur dalam UUGD Pasal 14 yang menyatakan guru berhak memiliki
kebebasan berserikat dalam organisasi profesi guru,” ujar Retno
dalam aksi itu.
Tidak Tunggal
UU tersebut juga
mengamanatkan guru wajib berorganisasi dan bebas memilih organisasi
guru. “Pasal ini sekaligus menunjukkan
organisasi guru tidak tunggal,” Retno menambahkan.
Sekjen Persatuan
Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Suparman
dalam keterangan persnya mengatakan, aksi tersebut meminta pemerintah
menegakkan amanat UUGD Pasal 1 yang mensyaratkan organisasi profesi
guru dibentuk dan diurus guru.
“Kenyataannya organisasi guru
seperti PGRI justru tidak diurus oleh guru. Hal ini jelas melanggar
undang-undang,” katanya.
Ketua Umum Forum
Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Heru Purnomo dalam kesempatan yang
sama mengatakan, bila didorong berkembang secara adil, organisasi
guru akan kuat dan independen sehingga dapat mendorong para anggota
menjadi guru yang pembelajar, profesional, dan kritis.
“Guru dan
organisasi guru secara aktif akan dapat berpartisipasi dalam
mendorong dan memengaruhi berbagai
kebijakan pendidikan, terutama kebijakan pendidikan yang berorientasi
peningkatan mutu dan pendidikan yang berkeadilan,” kata Heru dalam
keterangan persnya beberapa waktu lalu.
Senada dengan para
guru, Anggota Komisi X, Rohmani mengatakan, seperti halnya organisasi
profesi dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mampu mendongkrak
profesionalisme dokter-dokter, organisasi guru dapat meningkatkan
profesionalisme guru.
“Jadi, resep mengatasi persoalan guru bukan
resentralisasi, melainkan penguatan organisasi profesi guru,”
tuturnya kepada SH, Kamis pagi.
Sumber : Sinar Harapan
http://www.shnews.co/detile-28703-penguatan-organisasi-bisa-atasi-persoalan-guru.html
Jumat, 31 Agustus 2012
15 NOPEMBER = HARI KEBANGKITAN GURU & USTADZ SE-KAB. GARUT
Saatnya Yang Mulia Para GURU Bangkit, Berjamaah Berjuang !!!
Bahwa untuk mencapai tujuan bersama dalam mewujudkan eksistensi guru yang bermartabat dan profesional berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka diperlukan suatu organisasi profesi guru yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru berdasarkan semangat pembaharuan (reformasi) dengan mensyukuri amanah Allah Yang Maha Kuasa, memperjuangkan hak dan kewajiban guru serta menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan nilai-nilai luhur pribadi bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kami dirikan sebuah organisasi profesi guru yang diberi nama SERIKAT GURU INDONESIA KABUPATEN GARUT disingkat SEGI GARUT, sebagai wadah berhimpunnya para guru untuk bermusyawarah dan berjuang dalam menjunjung tinggi harkat martabat, kode etik, profesionalitas serta menegakkan hak dan kewajiban guru untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Organisasi Guru ini didirikan di Garut pada tanggal lima belas, bulan Nopember tahun 2006 dengan nama SERIKAT GURU INDONESIA KABUPATEN GARUT disingkat SEGI GARUT.
15 Nopember = HARI KEBANGKITAN GURU-USTADZ se-KABUPATEN GARUT
Kamis, 17 Mei 2012
Kebijakan Pendidikan yang Mengindonesiakan
Prof. Dr. Winarno
Surakhmad, M.Ed
PENGAMAT
PENDIDIKAN
Bahwa
kepentingan politik melahirkan berbagai kebijakan atau suatu kebijakan
merupakan indikasi dari sebuah kepentingan nasional tidak dimasalahkan dalam
tulisan ini. Tetapi masalah yang disoroti sekarang adalah kepentingan politik
praktis yang diungkapkan sebagai kepentingan pendidikan nasional. Karena itu,
sering membingungkan karena tidak jarang dirumuskan sebagai kebijakan
pendidikan.
Ambillah
pendidikan berbangsa untuk kepentingan pendidikan nasional. Kepentingan itu
jelas harus melahirkan kebijakan yang sesuai, yakni yang jauh lebih luas dari sekadar
kebijakan sekolah, apalagi kebijakan sekolah yang terbatas dibiayai oleh negara
saja. Sejak kemerdekaan sampai hari ini, yang baru saja berarti menjalani
kemerdekaan mengatur diri sendiri selama 65 tahun. Sudah 35 menteri pendidikan
yang dipercayakan melahirkan kebijakan pendidikan ke masa depan. Malangnya,
makin banyak di antara menteri itu yang hanya bisa melahirkan kebijakan sekolah
daripada melahirkan kebijakan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan diharapkan semakin jelas kaitannya dan semakin bersumber dari dan
termasuk segala hal yang diamanatkan oleh konstitusi. Kebijakan pendidikan
semacam itu jelas lahir dari kepentingan sebuah bangsa dan bukan hanya
kepentingan politik praktis atau perorangan. Kebijakan pendidikan dirumuskan
jauh ke depan dan terintegrasi dengan pembangunan secara menyeluruh.
Kondisi
semacam ini memang tidak selalu terdapat di Tanah Air. Bukan hanya disebabkan
oleh tiga orde yang telah dikenal sekaligus saling menghancurkan. Orde Baru
bertekad menghancurkan Orde Lama, tetapi di dalam setiap orde itu tidak
terdapat kesinambungan kebijakan pendidikan. Di dalam rangka Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi, kita sulit sekali mengenal kesinambungan kebijakan
para menteri. Ini berakibat tidak adanya garis lurus yang dapat dipedomani oleh
para pelaku pendidikan di lapangan.
Kita
umumnya makin tidak peka terhadap sekolah dan pendidikan sebagai yang telah
diingatkan berbeda dalam konsep dasarnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Yang paling menyedihkan sekarang ialah apabila seorang menteri pendidikan
menurunkan dirinya hanya sebagai menteri persekolahan dan menganggap bahwa
kebijakan sekolah yang dihasilkannya sekaligus adalah kebijakan pendidikan.
Yang
dibutuhkan secara nasional adalah yang berjangka lebih jauh ke masa depan dan
sinkron dengan pendidikan pembangunan secara lebih luas. Tetapi justru yang
terjadi banyak di antara 35 menteri itu yang lebih berfungsi sebagai menteri
persekolahan walaupun tetap menyebutkan diri sebagai menteri pendidikan
nasional.
Di
kalangan mereka yang melahirkan kebijakan pendidikan pun terdapat perbedaan dan
pertentangan yang cukup besar. Itulah di antara sebab mengapa Ki Hadjar
Dewantara (Menteri Pengajaran pertama, hanya 3 bulan) belum sempat
mengembangkan kebijakan mengenai pendidikan kemerdekaan dan sebaliknya itulah
pula mengapa seorang Dr Prijono (menteri ke 15,8 tahun lamanya) sempat
mengganti peran Pancasila dengan Pancacinta. Tetapi, pada saat yang sama,
itulah sebab mengapa menteri-menteri yang datang kemudian banyak mencari jalan
sendiri-sendiri dan melahirkan kebijakan yang akhirnya tidak
sambung-menyambung. Akhirnya itulah pula sebabnya mengapa masyarakat pada
umumnya memiliki kesan “ganti menteri, ganti kebijakan”.
Memang,
beberapa pemikiran menteri tertentu dan terdahulu, walaupun hanya berdasarkan
kepentingan teknis, berguna untuk ditindaklanjuti oleh menteri sesudahnya.
Tetapi kesetiaan para menteri sudah tidak bisa diharapkan dalam kekacauan
politik yang bersumber dari berbagai orde yang saling menghancurkan. Dalam
satu orde pun bukanlah jaminan lahirnya kepentingan yang tunggal. Para pelaku
di lapangan tidak mungkin lagi menemukan satu kebijakan jangka panjang yang
layak untuk dipedomani. Bukankah sudah tertanam di hati para pelaku itu bahwa
berganti menteri berarti berganti kepentingan, berganti kepentingan berarti
berganti kebijakan? Kita semua tetap gamang bila harus menyatakan bahwa
kita memerlukan insan cerdas dan kompetitif (RENSTRA Pendidikan Nasional,
2004-2009), karena tidak pernah jelas di kalangan siapa pun “cerdas” bagaimana
dan “kompetitif” terhadap siapa, dalam bentuk apa, dan terhadap siapa.
Sebaliknya
yang menonjol ialah kebijakan yang makin terikat pada keputusan praktis
sehari-hari yang ditentukan oleh berbagai pejabat masa lalu. Sesungguhnya yang
mereka maksud masa depan telahbanyak dirusak oleh generasi tua sendiri dan
disampaikan secara politis kepada generasi muda dalam bentuknya yang abstrak.
Generasi tua sering melupakan bahwa generasi mudalah yang paling berhak
terhadap masa depan. Karena itu, banyak peraturan serta UU buatan masa lalu
yang sekarang menjadi semakin tidak relevan, termasuk misalnya saja UU tentang
Badan Hukum Pendidikan, yang banyak dibicarakan di masyarakat dewasa ini.
Kebijakan
pendidikan yang benar-benar kita butuhkan sekarang ialah kebijakan yang paling
sedikit mengutarakan tiga hal berikut ini. Pertama, pendidikan sebagai proses
yang mengutamakan wujudnya nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam
UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bukan hanya
menjadi kebijakan sekolah, tetapi juga kebijakan hidup yang secara menyeluruh
berarti kebijakan berbangsa setiap warga negara.
Kedua,
pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan tempat sekolah mengutamakan
tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang
membudayakan. Dengan demikian, pendidikan sekaligus berarti kebijakan
pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga negara.
Ketiga,
pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya
Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan
kekuatan dalam keberagamanan.
Hari
ini kita wajib menilai apakah berbagai peraturan yang telah ada, termasuk yang
dihasilkan oleh Orde Reformasi sekalipun, telah benar-benar berdasarkan
kepentingan dan kebijakan pendidikan secara nasional. Kesimpulan penulis
sendiri ialah tidak demikian: bukan peraturan-peraturan dan ketentuan formal
yang dibutuhkan dewasa ini. Yang diperlukan adalah visi dan kebijakan
pendidikan yang sesuai dengan kepentingan yang dihormati dan dijadikan dasar
untuk membangun bangsa. Inilah kebijakan pendidikan yang mengindonesiakan.
Selasa, 15 Mei 2012
RSBI Harus Dibubarkan
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggaraan sekolah berstatus rintisan bertaraf internasional (RSBI/SBI), secara konsep bertentangan dengan falsafah pendidikan nasional. Karena itu RSBI harus dibubarkan, agar kekeliruan pendidikan tidak bertambah parah.
Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat. - Daoed Joesoef
Hal ini dikatakan dua saksi ahli pemohon mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, serta ahli filsafat dan manajemen pendidikan, HAR Tilaar, dalam sidang uji materi UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur RSBI/SBI, di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (15/5/2012).
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon dan pemerintah, dipimpin Ketua MK Mahfud MD.
Daoed mengatakan, dia sangat menentang pengembangan sekolah RSBI/SBI. "Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat," kata Daoed.
Menurut Daoed, dia menentang cara dan standar yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan sistem RSBI/SBI, yang menciptakan pengkastaan dan melegalkan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan.
"Saya bukan menolak peningkatan mutu pendidikan ke internasional atau pembelajaran bahasa asing. Tetapi jika yang dilaksanakan dengan RSBI/SBI, pemerintah terlalu simplistis," kata Daoed.
Dalam pandangannya, Daoed menentang keras sikap pemerintah yang sengaja menciptakan kekastaan dalam masyarakat. Pemerintah mengembangkan kelompok anak yang ceradas sedemikian rupa, namun ada juga kelompok anak yang nantinya bakal sekadar jadi "penonton" dalam pembangunan.
Sementara HAR Tilaar mengatakan, pendidikan RSBI/SBI Indonesia yang mengacu pada negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD, menunjukkan Indonesia tidak memiliki kemerdekaan budaya.
"Indonesia justru harus bisa menemukan kekuatan sendiri, dengan berlandaskan pada kebudayaannya, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan," kata Tilaar.
Menurut Tilaar, pendidikan RSBi/SBI hanya menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual, bukan manusia yang berkarakter dan berbudaya. http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/15/16482067/RSBI.Harus.Dibubarkan
Sabtu, 12 Mei 2012
Mengawasi Pembiayaan Pendidikan
http://www.tempo.co/read/kolom/2012/05/08/579/Mengawasi-Pembiayaan-Pendidikan-
Selasa, 08 Mei 2012 | 07:54 WIB
TEMPO.CO,
Di antara kementerian dan lembaga negara, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi kementerian dengan proporsi anggaran paling gemuk
dibanding yang lain. Dari Rp 266,9 triliun pada 2011, anggaran menjadi
Rp 286,6 triliun pada 2012. Baik pada 2011 maupun 2012, anggaran
pendidikan mencapai sekitar 20 persen APBN; mengikuti amanat
undang-undang.Harus diakui, skema anggaran tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah membangun sektor ini. Pada 2011, pemerintah telah melakukan rehab 18 ribu SD senilai Rp 2,29 triliun, 3.500 SMP senilai Rp 518,4 miliar, rehab 2.203 ruang kelas MI senilai Rp 160,8 miliar, dan MTs sebesar Rp 236,3 miliar. Pemerintah menyatakan masih ada sekitar 10 persen sekolah tidak layak yang akan terus diperbaiki. Di bidang fisik, dibangun Rumah Sakit Pendidikan di perguruan tinggi negeri sejak 2008 sampai sekarang dan menghabiskan Rp 2,5 triliun!
Sayangnya, pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka. Pemangku kepentingan belum sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan pendidikan nasional. Bahkan Menteri M. Nuh pun mengakui lembaga pendidikan satu dan lainnya berbeda-beda serta timpang, terutama di lembaga pendidikan tinggi. Belum ada audit pendidikan agar masyarakat mengetahui secara transparan. Kebijakan pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun masih saja terjadi.
Pembiayaan pendidikan belum mampu meng-upgrade posisi indeks pembangunan manusia Indonesia, bahkan di level ASEAN sekalipun. Laporan BPS menyatakan Indonesia masih ada di peringkat 108 pada 2009 dan 2010, dengan indeks masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita hanya mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan Myanmar (132), dan masih kalah dari Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).
Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi kita masih relatif rendah (56 persen untuk SLTP, 32 persen untuk SLTA, dan 12 persen untuk perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun sudah digalakkan dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD hingga SLTP sejak 2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya terus meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp 16,4 triliun pada 2011, naik tajam pada 2012 menjadi Rp 27,67 triliun.
Meskipun anggaran sudah berporsi besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19 April) dengan Komisi X yang ditujukan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa besarnya anggaran ini belum mampu mengubah potensi partisipasi peserta didik? Apakah pembiayaan ini telah berjalan tepat sasaran, efektif, dan efisien? Lalu, bagaimana mengantisipasi “tikus-tikus” proyek yang acap berkeliaran, seperti dugaan “permainan” AS dan kawan-kawan di tubuh Kementerian Pendidikan?
Peran pemda
Sejak otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab pemda. Tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas; diganti dengan Dinas Pendidikan di kabupaten/kota di bawah kendali pemda, dan Dinas Pendidikan Provinsi di bawah pemerintah provinsi. Dengan konfigurasi demikian, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah bertanggung jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD. Dalam prakteknya, ternyata hal ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi antara pusat dan daerah.
Pembiayaan pendidikan yang bersifat budgetary (dibelanjakan sekolah) dan non-budgetary (dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering berbeda dan timpang antara satu daerah dan lainnya. Belum disusun indikator yang memungkinkan anggaran pendidikan terserap sesuai dengan kebutuhan prioritas per daerah. Yang terjadi selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk pada besaran tahun-tahun sebelumnya, karena ketidakberanian mengubah mindset menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur DAK serta DAU juga ikut memengaruhi potensi penyalahgunaan anggaran “raksasa” ini.
Belum lagi, kesenjangan pendidikan antarkabupaten di Indonesia masih belum cukup memberikan informasi tentang kesenjangan yang terjadi di dalam provinsi. Padahal kesenjangan itu benar-benar terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap menyeluruh, sehingga pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan lebih komprehensif. Hal ini tidak hanya penting secara kuantitatif, tetapi juga penting bagi pemerintah sebagai bahan mengambil langkah-langkah terpadu untuk mengurangi semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan pendidikan.
Mismanajemen biaya
Jika merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran, sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan, dan peralatan pendidikan habis pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Faktanya, pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan untuk kebutuhan biaya operasi ini. Sama halnya dengan di kementerian dan lembaga negara lainnya, pemerintah belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk mengefisienkan biaya operasi, sehingga target-target pencapaian pendidikan dapat terpenuhi.
Yang ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan prasarana sekolah yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik untuk anak pintar maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat “dikalahkan” oleh kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum tuntas (atau dianggap masih kurang, dan akan selalu merasa kurang), maka otomatis akan sulit menargetkan terpenuhinya pembiayaan pendidikan tepat guna dan tepat tujuan.
Belum lagi pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di bidang pendidikan yang selalu menjadi makanan empuk “para pemain” lama maupun baru di proyek-proyek pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political will pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit beranjak membangkitkan potensi bangsa kita. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara komprehensif perlu dilakukan kontinu dan melibatkan komponen-komponen terkait. Orang terdidik pun bisa korupsi dan “mau” menerima uang korupsi jika ditempatkan di lahan basah tanpa pengawasan yang memadai.
*) Abdullah Yazid, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang, peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
Kamis, 10 Mei 2012
Guru di Garut Pertanyakan Belum Cairnya TPG
INILAH.COM, Garut
- Guru-guru penerima sertifikasi di berbagai
daerah di Kabupaten Garut mengeluhkan belum cairnya tunjangan
penghasilan guru (TPG) dari pemerintah pusat untuk triwulan pertama
2012. Seharusnya dana TPG tersebut sudah diterima mereka selambatnya
April lalu.
Mereka pun mempertanyakan diharuskannya para guru membuka rekening baru di Bank BJB untuk penerimaan uang TPG sekalipun sudah memiliki rekening di bank tersebut sebelumnya. Isu dugaan adanya kesengajaan pengendapan dana TPG di Bank BJB pun muncul dan disinyalir ada aliran fee atas kerja sama pembukaan rekening baru tersebut.
Ketua Serikat Guru Indonesia Imam Tamamu Taufiq mengatakan, sepengetahuannya, transfer TPG untuk Kabupaten Garut dari pemerintah pusat dengan total nilai Rp66,7 miliar sudah dikirimkan Kementrian Keuangan RI ke Pemkab Garut pada Maret 2012 lalu. Namun hingga kini, TPG tersebut masih belum dicairkan.
"Padahal sesuai Permenkeu Nomor 35/PMK.07/2012, TPG untuk Garut untuk triwulan pertama senilai total Rp66,7 miliar itu sudah harus dicairkan paling lambat April 2012. Tapi sampai saat ini masih belum diterima guru-guru di Garut. Ini artinya, Pemkab melakukan pelanggaran terhadap Permenkeu 35/2012 tersebut," tutur Imam yang juga guru di salah satu SMA di Kabupaten Garut itu, Rabu (9/5/2012).
Imam jug mempertanyakan diharuskannya para guru SMA/SMK di Kabupaten Garut membuka rekening di Bank BJB untuk penerimaan TPG tersebut, termasuk yang sudah memiliki rekening bank bersangkutan.
"Padahal, menurut MoU (Memorandum of Understanding/kesepahaman) Bank BJB dengan Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), pembukaan rekening di Bank BJB hanya untuk guru-guru SD, SMP, dan pengawas. Saya tak tahu Pemkab Garut ini bagaimana? Apa TPG itu diendapkan atau bagaimana sebenarnya?," tanya Imam.[ang] *
http://www.inilahjabar.com/read/detail/1859552/guru-di-garut-pertanyakan-belum-cairnya-tpg
Oleh: Nul Zainulmukhtar
Jabar - Rabu, 9 Mei 2012 | 23:22 WIB
Jabar - Rabu, 9 Mei 2012 | 23:22 WIB
Mereka pun mempertanyakan diharuskannya para guru membuka rekening baru di Bank BJB untuk penerimaan uang TPG sekalipun sudah memiliki rekening di bank tersebut sebelumnya. Isu dugaan adanya kesengajaan pengendapan dana TPG di Bank BJB pun muncul dan disinyalir ada aliran fee atas kerja sama pembukaan rekening baru tersebut.
Ketua Serikat Guru Indonesia Imam Tamamu Taufiq mengatakan, sepengetahuannya, transfer TPG untuk Kabupaten Garut dari pemerintah pusat dengan total nilai Rp66,7 miliar sudah dikirimkan Kementrian Keuangan RI ke Pemkab Garut pada Maret 2012 lalu. Namun hingga kini, TPG tersebut masih belum dicairkan.
"Padahal sesuai Permenkeu Nomor 35/PMK.07/2012, TPG untuk Garut untuk triwulan pertama senilai total Rp66,7 miliar itu sudah harus dicairkan paling lambat April 2012. Tapi sampai saat ini masih belum diterima guru-guru di Garut. Ini artinya, Pemkab melakukan pelanggaran terhadap Permenkeu 35/2012 tersebut," tutur Imam yang juga guru di salah satu SMA di Kabupaten Garut itu, Rabu (9/5/2012).
Imam jug mempertanyakan diharuskannya para guru SMA/SMK di Kabupaten Garut membuka rekening di Bank BJB untuk penerimaan TPG tersebut, termasuk yang sudah memiliki rekening bank bersangkutan.
"Padahal, menurut MoU (Memorandum of Understanding/kesepahaman) Bank BJB dengan Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), pembukaan rekening di Bank BJB hanya untuk guru-guru SD, SMP, dan pengawas. Saya tak tahu Pemkab Garut ini bagaimana? Apa TPG itu diendapkan atau bagaimana sebenarnya?," tanya Imam.[ang] *
http://www.inilahjabar.com/read/detail/1859552/guru-di-garut-pertanyakan-belum-cairnya-tpg
Langganan:
Postingan (Atom)